WORKSHOP AMAZING PRESENTATION
Kamis, 30 Mei 2013
VIDEO HUKUM PERIKATAN
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
HUKUM PERIKATAN
Oleh: 1. M. Khadafi (28211816)
2. Twenty Nostalia (27211203)
3. Yunita Resty (27211682)
Kelas: 2EB20
Hukum Perikatan
Hukum
perikatan
perikatan
Definisi Hukum Perikatan :
Perikatan
dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”, Istilah perikatan ini lebih umum
dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti,
hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat
itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang.
Dapat berupa keadaan, misalnya, letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah
yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun. Karena hal yang mengikat itu
selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’, Dengan demikian
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum.
Jika
dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian
atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat
diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law
of property), juga terdapat dalam bidang
hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta
dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa
sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan
pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur)
dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian
perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas
subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang (debitur
atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara
tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian
itu.
Istilah
perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang
dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara
dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang
dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat
dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan
pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh
karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa
perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di
dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan
system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber
pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur
dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di
dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Dasar Hukum Perikatan
1. Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan
yang timbul undang-undang.
Perikatan
yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata: “Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari
undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen).
a. Perikatan
terjadi karena undang-undang semata. Perikatan yang timbul dari undang-undang
saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam
pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak
dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan
kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari
sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber
lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan
wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim.
Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber
perikatan.
b. Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia.
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi
karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan
perwakilan sukarela (zaakwarneming).
Azas-azas
dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam
hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah
1. Kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang
mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok
dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap
untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4. Suatu
sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu
harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi
dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah
satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat
Wanprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar
Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh salah satu pihak;
b. Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat
oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan
Perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan
membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan dapat
di hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata.
Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan
utang (inovative)
Novasi adalah
suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan
semula.
Ada tiga macam
novasi yaitu :
1.
Novasi obyektif, dimana perikatan yang
telah ada diganti dengan perikatan lain.
2.
Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang
sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada
A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih
mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi
undang-undang menentukan oleh Pasal 1427 KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
o
Kedua-duanya berpokok sejumlah uang
atau.Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat
dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
o
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan
dapat ditagih seketika.
Pembebasan
utang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang
pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum
dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari
debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan
secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan
kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag
dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang
itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian
surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang
pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi
hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk
membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka
dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan:
1.
Pembebasan utang yang diberikan kepada
debitur utama, membebaskan para penanggung utang,
2.
Pembebasan utang yang diberikan kepada
penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama,
3.
Pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang
yang terutang
Apabila benda
yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan
atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force
majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang
akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka
untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal
barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai
menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata
menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan
tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan
kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan
pembatalan perikatan-perikatan
Kebatalan dapat
dibagi dalam dua hal yaitu, batal demi hukum, dan dapat dibatalkan.
Disebut batal
demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang.
Syarat yang
membatalkan
Yang dimaksud
dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua
belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal,
sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat
batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan.
Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah
terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai
ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu,
perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya
tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat
batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan
hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.
Lewatnya Waktu
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang
ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan
Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam
lampau waktu,
yaitu :
1.
Lampau waktu untuk memperolah hak milik
atas suatu barang, disebut “acquisitive prescription”;
2.
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu
perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”;
Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa
belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah
terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat
dan praktis.
Referensi:
http://bachtiarseptiyadi.blogspot.com/2012/05/hukum-perikatan.html
Kamis, 02 Mei 2013
ATURAN
Bisnis online
Bisnis Online saat
ini bukan lagi menjadi istilah asing di Indonesia, baik kita yang
kesehariannya terbiasa menggunakan internet ataupun tidak. Apapun
definisi yang diberikan untuk Bisinis Online ini, yang jelas pelaku bisnis ini memperolah keuntungan dari adanya internet.
Sebagian orang mendefinisikan bahwa bisnis onlineadalah
sesuatu aktifitas bisnis baik jasa maupun produk yang ditawarkan
melalui media internet mulai dari negoisasi hingga kegiatan
transaksinya, seperti menjual software, ebook dan sejenisnya tanpa harus
bertatap muka dengan customer.Saya sendiri cenderung lebih setuju
apabila Bisnis Online didefinisikan
sebagai “sesuatu aktifitas bisnis yang sebagian atau seluruh
kegiatannya dilakukan melalui media internet” apapun jenis bisnisnya
dari mulai menjual hasil bumi hingga mobil. Dengan kata lain meski kita
hanya seorang marketing dari sebuah perusahaan dan melakukan aktifitas
marketing melalui media internet, bisa disebut sebagai pelaku bisnis online.Bahkan yang luar biasa adalah, jika kita memiliki kemampuan memasarkan di internet, sangat terbuka kesempatan luas untuk dapat membantu memasarkan produk-produk orang lain baik perorangan maupun perusahaan-perusahaan dengan pendapatan yang menggiurkan.
Bisnis Online terdiri dari 2 kata yakni Bisnis dan Online. Bisnis
adalah suatu usaha atau aktivitas yang dilakukan oleh kelompok maupun
individual, untuk mendapatkan laba dengan cara memproduksi produk maupun
jasanya untuk memenuhi kebutuhan konsumennya. Sedangkan kata Online
menurut kamus.web.id adalah suatu kegiatan yang terhubung melalui
jaringan komputer yang dapat diakses melalui jaringan komputer lainnya.
Banyak dan banyak sekali alternatif bisnis online tempat kita memperoleh pundi – pundi rupiah dari bisnis online. Sebagai contoh jika anda bisa melakukan kegiatan klik – klik iklan yang disediakan oleh pihak Advertiser maka anda lebih cocok mendalami bisnis Paid To Click (PTC). Jika anda mempunya skill dalam menjual barang dan jasa maka bisnis Affiliasi atau Reseller sangat cocok untuk anda. Pintar meracik dan mengembangkan blog maka Bisnis Paid Per Click (PPC) bisa anda gunakan untuk meramaikan blog anda. Pintar merayu downline, MLM Online cocok buat anda. Dan masih banyak lainnya yang bisa anda coba.
Pengertian Internet Marketting
Pada dasarnya antara Bisnis Online dan Internet Marketing mempunyai kesamaan arti atau makna yang sama yakni sama – sama memiliki tujuan untuk memperoleh penghasilan melalui dunia maya. Namun untuk Internet Marketing lebih berorientasi terhadapat ilmunya atau teknik – teknik mendapatkan uang dari bisnis online tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Internet Marketing adalah suatu ilmu wajib yang digunakan bagi setiap orang yang ingin mengembangkan usaha atau meraih penghasilan dari internet. Dengan mengetahui cara dan strategi internet marketting yang tepat maka Anda akan mengerti dasar dari pemasaran melalui media internet.
Sebagai contoh apabila anda mempunyai skill atau kemampuan menjual produk – produk dari produsen atau lebih familiarnya Affiliasi. Maka anda pastinya membutuhkan apa yang namanya tempat atau wadah untuk berpromosi. Kemudian anda membuat sebuah blog atau web dan anda kembangkan blog tersebut dengan berbagai teknik untuk mendatangkan pengunjung supaya mereka (pengunjung) membeli produk dari anda. Dengan membuat dan mengembangkan blog inilah anda sudah menerapkan teknik dari Internet Marketing. Dan masih banyak teknik Internet Marketing lainnya tidak hanya dengan membuat dan mengembangkan blog, saya beri contoh dengan berpromosi melalui forum – forum, melalui jejaring sosial, website iklan baris, chat online, dsb.
Cara Sukses Usaha Bisnis Online – Semenjak diperkenalkan
pertama kalinya di tahun 1994, hingga kini perkembangan bisnis online
semakin pesat. Bisnis online yang semula hanya dipakai untuk tujuan
promosi dan periklanan melalui halaman website, kini telah berubah
menjadi bisnis yang multifungsi, baik sebagai sarana promosi, pembelian
barang, penjualan barang, dan juga penjualan jasa-jasa lainnya yang
dilakukan melalui sistem online.
Seiring dengan perkembangan bisnis online, maka tidak pula menjadi
mustahil banyak orang yang menggantungkan hidup dari sektor ini. Bukan
hanya sebagai bisnis sampingan, tetapi banyak orang yang memanfaatkan
bisnis online sebagai bisnis utama. Sebagai hasilnya, bisnis online
sejauh ini telah mencetak ribuan pebisnis yang sukses dan berhasil.
Bagaimana sebenarnya cara sukses melakoni usaha bisnis online, baik cara sukses bisnis online shop, cara bisnis online di Facebook, atau bahkan banyak juga yang bertanya tentang bagaimana melakoni bisnis online gratis tanpa modal.
Bagaimana sebenarnya cara sukses melakoni usaha bisnis online, baik cara sukses bisnis online shop, cara bisnis online di Facebook, atau bahkan banyak juga yang bertanya tentang bagaimana melakoni bisnis online gratis tanpa modal.
Cara Sukses Usaha Bisnis Online
Berikut ini akan dijelaskan secara lengkap tentang bagaimana cara sukses usaha bisnis online. Adapun dalam tulisan ini akan dipaparkan 10 cara sukses bisnis online yang tentunya akan sangat bermanfaat Anda baca:
1. Tentukan Tujuan
Memulai bisnis online sesuai minat merupakan hal yang baik. Dan akan lebih baik jika sebelumnya diikuti dengan riset. Melakukan riset pasar adalah cara untuk mengendus seberapa baik potensi pasar.
3. Jangan Ditunda
Jika sudah punya tujuan Bisnis Online maka segera lakukan, laksanakan. Jangan ditunda-tunda. Sebab sering kejadian sesuatu yang ditunda akhirnya tidak jadi dilaksanakan. Apalagi kalau sudah punya ide, langsung laksanakan jangan ditunda.
4. Lakukan Bertahap
Menjalankan bisnis online bukan kerja semalam. Namun merupakan kerja yang membutuhkan konsistensi dan dilakukan secara terus menerus. Pebisnis online selalu punya langkah lanjutan untuk membuat bisnis onlinenya lebih sukses.
5. Perluas Jaringan
Teman, kawan dan jaringan merupakan kepanjangan tangan dari pengaturan rejeki yang sudah diatur oleh Tuhan. Makin banyak jaringan anda, makin banyak pintu rejeki akan mengalir pada anda.
7. Marketing
Marketing atau pemasaran adalah penggerak dari segala jenis bisnis di dunia ini, termasuk di bisnis online. Di dunia Bisnis manapun Marketing adalah pendukung utama penjualan, jangan bosan untuk melakukan Marketing. Perusahaan yang sudah besar sekalipun tidak bosan-bosan melakukan Marketing.
8. Berani Ambil Resiko
Yang namanya Resiko disetiap kegiatan apapun selalu ada, baik resiko terbaik maupun resiko terburuk. Tinggal bagaimana kita memandang resiko terutama resiko yang buruk. Kata para ahli orang yang sukses adalah orang yang berani ambil resiko.
8. Harus Fokus
Jangan mudah berpindah arah. Tetap fokus dengan bisnis online anda. Ada banyak “godaan” di bisnis online, dan di sini FOKUS anda diuji.
10. Jangan Bosan
Mungkin ada saatnya anda mengalami kebosanan saat harus menjalankan ini itu agar bisnis online anda tetap berjalan. Bosan merupakan sifat yang sangat manusiawi. Namun untuk berhasil anda harus bisa mengalahkan sifat mudah bosan. Yang namanya hidup ini adakalanya kita merasa bosan, makan saja kadang bosan. Tapi rasa bosan jangan dibiarkan, cari variasi lain biar nggak bosan.
Sumber : http://ariefdar.wordpress.com/2013/01/29/pengertian-bisnis-online/
ETIKA
Aturan Hukum hak konsumen
Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pengertian konsumen
sendiri adalah orang yang mengkonsumsi barang atau jasa yang tersedia
dimasyarakat baik untuk digunakan sendiri ataupun oranglain dan tidak untuk
diperdagangkan. Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen
bertujuan untuk, yaitu :
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
- Mengangakat derajat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan pemakaian barang atau jasa yang negatif
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan barang atau jasa dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
- Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
Meningkatkan barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
1.
Asas
Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan,
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4.Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
6.Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4.Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
6.Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Untuk melindungi
hal tersebut, penting kiranya para konsumen memahami hak-hak yang dimiliki demi
mendapatkan perlindungan akan barang dan/jasa yang dikonsumsinya. Berikut
hak-hak yang dimiliki para konsumen:
1. Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa
2. Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3. Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang
dan/atau jasa
4. Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
5. Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
6. Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
8. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya
9. Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen,
pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
hak untuk mendapat
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.
hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
4.
hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kegiatan yang Dilarang Dalam Perlindungan Konsumen
kegiatan
yang di larang dalam perlindungan konsumen
1. Kegiatan produksi dan / atau perdagangan barang dan atau jasa (Pasal 8 ayat 1). Sejumlah pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Selain itu, masih ada pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (ayat 2) dan memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar (ayat 3).
1. Kegiatan produksi dan / atau perdagangan barang dan atau jasa (Pasal 8 ayat 1). Sejumlah pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Selain itu, masih ada pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (ayat 2) dan memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar (ayat 3).
Klausula Baku Dalam Perjanjian
Klausula
baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Memang klausula
baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain
menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat
membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak perjanjian
atau kontrak sehari-hari kita selalu harus mernegosiasikan syarat dan
ketentuannya.
Di dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian, antara lain :
1.
Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha ;
2.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen ;
3.
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli konsumen ;
4.
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsurang ;
5.
Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen ;
6.
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa ;
7.
Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya ;
8.
Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2. cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3. cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
Sanksi Perlindungan Konsumen
Dalam
pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut
telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha
diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard
rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang
yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan,
kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang
rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan
klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b
) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Langganan:
Postingan (Atom)