LINGKUNGAN HIDUP YANG BERMANFAAT
Dulu, Indonesia dikenal sebagai sebuah negeri yang 
subur. Negeri kepulauan yang membentang di sepanjang garis katulistiwa 
yang ditamsilkan ibarat untaian zamrud berkilauan sehingga membuat para 
penghuninya merasa tenang, nyaman, damai, dan makmur. Tanaman apa saja 
bisa tumbuh di sana. Bahkan, tongkat dan kayu pun, menurut versi Koes 
Plus, bisa tumbuh jadi tanaman yang subur.
Namun, 
seiring dengan berkembangnya peradaban umat manusia, Indonesia tidak 
lagi nyaman untuk dihuni. Tanahnya jadi gersang dan tandus. Jangankan 
tongkat dan kayu, bibit unggul pun gagal tumbuh di Indonesia. Yang lebih
 menyedihkan, dari tahun ke tahun, Indonesia hanya menuai bencana. 
Banjir bandang, tanah longsor, tsunami, atau kekeringan seolah-olah 
sudah menjadi fenomena tahunan yang terus dan terus terjadi. Sementara 
itu, pembalakan hutan, perburuan satwa liar, pembakaran hutan, 
penebangan liar, bahkan juga illegal loging (nyaris) tak pernah
 luput dari agenda para perusak lingkungan. Ironisnya, para elite negeri
 ini seolah-olah menutup mata bahwa ulah manusia yang bertindak 
sewenang-wenang dalam memperlakukan lingkungan hidup bisa menjadi 
ancaman yang terus mengintai setiap saat.
Mengapa bencana demi bencana terus terjadi? Bukankah negeri ini sudah memiliki perangkat hukum yang jelas mengenai pengelolah lingkungan hidup ,  Bukankah Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional telah membangun kesempatan yang sama membangun negara ini lebih maju, dan 
 Namun, mengapa korban-korban masih terus berjatuhan akibat rusaknya 
lingkungan yang sudah berada pada titik nadir? Siapa yang mesti 
bertanggung jawab ketika bumi ini tidak lagi bersikap ramah terhadap 
penghuninya? Siapa yang harus disalahkan ketika bencana dan musibah 
datang beruntun menelan korban orang-orang tak berdosa?
Saat 
ini agaknya (nyaris) tidak ada lagi tanah di Indonesia yang nyaman bagi 
tanaman untuk tumbuh dengan subur dan lebat. Mulai pelosok-pelosok dusun
 hingga perkotaan hanya menyisakan celah-celah tanah kerontang yang 
gersang, tandus, dan garang. Di pelosok-pelosok dusun, berhektar-hektar 
hutan telah gundul, terbakar, dan terbabat habis sehingga tak ada tempat
 lagi untuk resapan air. Satwa liar pun telah kehilangan habitatnya. 
Sementara itu, di perkotaan telah tumbuh cerobong-cerobong asap yang 
ditanam kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan tanpa mempertimbangkan 
dampaknya terhadap lingkungan. Polusi tanah, air, dan udara benar-benar 
telah mengepung masyarakat perkotaan sehingga tak ada tempat lagi untuk 
bisa bernapas dengan bebas dan leluasa. Limbah rumah tangga dan industri
 makin memperparah kondisi tanah dan air di daerah perkotaan sehingga 
menjadi sarang yang nyaman bagi berbagai jenis penyakit yang bisa 
mengancam keselamatan manusia di sekitarnya.
Meskipun
 demikian, hanya mencari “kambing hitam” siapa yang bersalah dan siapa 
yang mesti bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan hidup 
bukanlah cara yang arif dan bijak. Lingkungan hidup merupakan persoalan 
kolektif yang membutuhkan partisipasi semua komponen bangsa untuk 
mengurus dan mengelolanya. Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, Lembaga 
Swadaya Masyarakat (LSM), semua warga masyarakat, dan komponen bangsa 
yang lain harus memiliki “kemauan politik” untuk bersama-sama menjaga 
kelestarian lingkungan hidup dari ulah tangan jahil para preman dan 
penjahat lingkungan. Hal itu harus dibarengi dengan tindakan hukum yang 
tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup yang nyata-nyata telah 
terbukti menyengsarakan banyak umat manusia. Pedang hukum harus 
benar-benar mampu memancung dan memenggal kepala para penjahat 
lingkungan hidup untuk memberikan efek jera dan sekaligus memberikan 
pelajaran bagi yang lain.
Yang 
tidak kalah penting, harus ada upaya serius untuk membudayakan cinta 
lingkungan hidup melalui dunia pendidikan. Institusi pendidikan, menurut
 hemat saya, harus menjadi benteng yang tangguh untuk menginternalisasi 
dan menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup kepada 
anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu. Nilai-nilai 
kearifan lokal masyarakat setempat perlu terus digali dan dikembangkan 
secara kontekstual untuk selanjutnya disemaikan ke dalam dunia 
pendidikan melalui proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, 
efektif, dan menyenangkan. Pola dan gaya penyajiannya pun tidak bercorak
 teoretis dan dogmatis seperti orang berkhotbah, tetapi harus lebih 
interaktif dan dialogis dengan mengajak siswa didik untuk berdiskusi dan
 bercurah pikir melalui topik-topik lingkungan hidup yang menarik dan 
menantang.
Lingkungan
 hidup yang disemaikan melalui dunia pendidikan tidak harus menjadi mata
 pelajaran tersendiri, tetapi disajikan lintas mata pelajaran melalui 
pokok-pokok bahasan yang relevan. Dengan kata lain, lingkungan hidup 
tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab guru Geografi atau IPA saja, 
misalnya, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru mata pelajaran.
Mengapa
 budaya cinta lingkungan hidup ini penting dikembangkan melalui dunia 
pendidikan? Ya, karena jutaan anak bangsa kini tengah gencar menuntut 
ilmu di bangku pendidikan. Merekalah yang kelak akan menjadi penentu 
kebijakan mengenai penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup yang 
baik. Menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup kepada 
anak-anak bangsa melalui bangku pendidikan sama saja menyelamatkan 
lingkungan hidup dari kerusakan yang makin parah. Dan itu harus dimulai 
sekarang juga. Depdiknas yang memiliki wewenang untuk menentukan 
kebijakan harus secepatnya “menjemput bola” agar dunia pendidikan kita 
mampu melahirkan generasi masa depan yang sadar lingkungan dan memiliki 
kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Nah,
 bagaimana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar